Masa SMA akan segera berakhir.
Hari ini aku dilanda kegelisahan menunggu hasil pelulusan, semua murid
berkumpul di lapangan upacara. Terlintas seperti ‘slide show’ momen tiga tahun lalu di lapangan upacara ini, kami
dikumpulkan disini untuk menghadiri acara penyambutan siswa baru. Sekarang, kami
berdiri disini untuk membuka hasil ujian kemarin yang akan menentukan masa
depan kami.
Kamu
memandangiku begitu lekat saat apel pertama kita sebagai siswa baru di SMA ini.
“Halo..” sapaku, kamu sangat terlihat kikuk dan hanya membalas dengan senyum
bingung. Seminggu sudah kita lalui dengan sebutan peserta MOPDB (Masa Orientasi
Peserta Didik Baru), seminggu itu pula aku mengenalmu yang sangat hangat
padaku. Pada penghujung MOPDB itu, kamu menyatakan rasa sukamu terhadapku. Ah,
dan aku mengerti apa maksud kehangatanmu selama ini. Tak disangka-sangka,
setelah pembagian kelasbaru ternyata kita ditempatkan di kelas yang sama,
sepuluh empat. Disanalah kita mulai mengenal satu sama lain semakin dekat.
“Kita
gak bias buat bareng-bareng, aku lebih nyaman kita jadi temen aja ya..” itu
yang selalu aku ucapkan padamu ketika kamu mulai membicarakan hubungan kita
untuk lebih lanjut. Kita semakin jauh, jauh yang dalam arti benar-benar menjauh.
Entah aku yang menjauh karena tak ingin kamu terus berharap, atau kamu yang
menjauh karena cemburumu melihatku bersama teman-teman lelakiku. Aku sering
merasa kamu menjauh, mungkin menjauh agar tidak mengaharapkanku lagi. Tapi aku
nyaman di dekatmu!
Kurang lebih
satu tahun kita ditempatkan di kelas yang sama, tanpa aku sadari banyak sekali
momen yang kita lalui bersama. Aku juga merasa sangat dekat denganmu, walaupun
banyak sekali faktor yang membatasi kita. Selama iu juga, teman-teman kita
sering sekali membicarakan ‘kesakit hatianmu’ melihatku berganti pacar
sedangkan kamu selalu aki ‘skip’. Aku merasa iba padamu. Tapi entahlah,
perasaanku padamu tetap tidak lebih dari sebatas teman.
Hingga pada
saat itu kita harus dipisahkan oleh penjurusan, aku masuk di kelas IPA 1 yang
berbeda lima kelas denganmu. Cukup jauh. Kitra semakin jarang bertemu, ditambah
lagi dengan adanya teman perempuanmu yang membuat kita semakin canggung saja. Jangankan
untuk bertegur sapa, memandangku saja kamu sangat hati-hati. Ya tentu saja,
karena kamu selalu berjalan berdampingan dengan perempuanmu, begitu pula aku
dengan lelakiku. “Hati-hati menjaga hati."
Hidup kita
sangat masing-masing, karena memang kita tidak pernah bersama. Tapi anehnya,
kala itu tetap saja banyak dari teman kita selalu melaporkan apa-apa tentang
kamu. Walaupun aku tidak ingin tau. Beberapa waktu kamu menghubungiku walaupun
dengan sapaan dinginmu. Dan tanpa disadari olehku, ternyata kamu selalu ada di sela-sela
waktuku. Hebat, aku salut padamu. Tapi entahlah, perasaanku padamu tetaptidak
lebih dari sebatas teman.
Banyak sekali
omongan orang-orang yang selalu memihak padamu, meminta agar aku memberi
kesempatan padamu. Tapi saat itu, yang terpikir olehku adalah, “Buat apa kamu
memintaku terus sedang kamu asyik dengan duniamu dan tidak ada usaha seperti
dulu?”. “Huh, bodoh kamu. Gimana dia mau deketin kamu lagi sedangkan kamu masih
mesra dengan pacar kamu? Kamu gak sadar apa aja yang udah dia lakuin!” itu yang
temanmu katakana padaku. Sering kali setiap aku bertemu salah satu temanmu aku
mendapat nasihat-nasihatseperti itu. Entah itu nasihat atau paksaan. Yang jelas,
hal itu tetap tidak mengubah perasaanku padamu. Walaupun aku sempat sangat
merasa tersentuh saat tau kamu pernah menjatuhkan air matamu ketika
menceritakan tentangku pada temanmu.
Aku ingin
sekali sikapmu menjadi sehangat dulu, bukan dingin seperti ini. Beberapa kali
kita bertemu dan kamu membekukanku dengan pangabaianmu. Aku tidak mengerti
kenapa setiap kali kamu mengacuhkanku, seperti ada rasa yang menusuk pada
jantung ini. Dan pengabaianmu cukup membuatku terpaku.
Rasa ini
semakin berkecamuk dengan perasaan-perasaan lain. Aku juga tidak tau dengan
jelas apa perasaan ini. Apalagi setelah hamper tiga tahun sejak pertemuan kita,
saat itu aku dan kamu sama-sama single dan kamu mulai menghubungiku lagi. Aku menjauh,
perasaan ini semakin tidak menentu. Disatu sisi aku takut kamu mengaharapkanku
lagi, aku tetap mempertahankan untuk menjadikanmu teman. Tapi disisi lain, aku
merasa kehilanganmu ketika kamu menjauh.
Beberapa
bulan setelah aku putus dengan lelakiku yang kata orang sudah membuatmu
menunggu lama, kamu datang lagi. Ajakan makan malammu waktu itu aku terima
dengan baik. Malam itu kamu mengorek dan memaparkan perasaan-perasaanmu
terhadapku yang sejak dulu. “Aku punya tekad, dia lelaki terakhir yang
melangkahiku. Jika ada lelaki lain, aku akan berhenti kala itu juga.” ucapmu dengan
penuh yakin. Dan ucapanmu itu yang mungkin mulai menyadarkanku, “Apa salahnya
jika aku mencoba memberikanmu kesempatan?”. Ibaratnya pintu hatiku sudah kau ketuk
dan aku mencoba untuk membukakannya untukmu.
Setelah
malam itu, banyak makan malam berikutnya yang kita lewati bersama. Siang haripun
sering kita habiskan bersama. Hingga lama-kelamaan aku mulai menyilahkan kamu
masuk kedaam ruang di hatiku. Dan ternyata ada banyak hal yang selama ini tidak
aku lihat darimu, aku seperti buta akan dirimu.
“Aku
tetap ingin menjadikanmu teman.” Sepertinya kalimat itu mulai emlemah. Aku sangat
nyaman dengan keberadaanmu disampingku. Dan semakin sering kamu membuat
jantungku berdebar tak karuan. Kata orang, aku jatuh cinta. Ah perasaan apa
ini? Selama hamper tiga tahun ini kenapa aku baru merasakannya sekarang? Setelah
masa SMA kita akan segera berakhir dan kita harus terpisah dengan pilihan sekolah
tinggi kita. Aku ingin mengahabiskan sisa waktuku di SMA ini yang sudah aku ‘skip’
untuk kulalui bersamamu. Maafkan aku baru melihatmu setelah hampir tiga tahun
aku mengenalmu. Terimakasih sudah menyelipkan aku di bagian hidupmu selama
kurang dari tiga tahun ini.
Dan di
hari pelulusan ini, mungkin di hari kita benar-benar akan dilepas dari sekolah
yang telah mempertemukan kita. Aku memegang tanganmu erat, bersiap membuka
amplop persegi panjang yang berisikan hasil Ujian Nasional dan Ujian Sekolah
yang telah kita jalani. Tanganku mendingin, dibukalah amplop itu dan kubaca
dengan seksama. Diantara deretan nilai-nilai dan tulisan yang tak kubaca,
mataku terpaku pada tulisan dengan huruf capital, “LULUS”. Badanku melemas karena bahagia, kamu merangkulku dengan
tawa riangmu. “Kita lulus! Kita lulus..” teriakmu sambil tetap merangkulku. Doa dan
rasa syukur atas kelulusan semua kami panjatkan di lapangan itu. Air matapun
tak tertahankan, tanganku tak lepas dari genggamanmu yang kubalas erat. Seselesainya
doa bersama untuk kesuksesan kami, aku memberanikan diri mengajakmu ke kelas
kita dulu. Kelas dimana kita pernah menjadi sangat dekat. Kita mulai
bernostalgia menceritakan satu persatu momen kita, manisnya.
Aku memandang
wajahmu lekat-lekat, menatap matamu dalam. Aku berusaha menunjukan bahwa aku
sedang sangat jujur terhadap perasaanku. “Biarpun waktu kita telah habis di
sekolah ini, tapi sejarah kita akan tetap membekas disini.” kutunjuk dadamu. “Masa
sekolah kita berakhir, tapi mari kita mulai hubungan kita.” tegasku. Kamu hanya
membalas dengans enyuman dan memelukku erat.
Apa salahnya jiak kita terjatuh pada orang yang sudah sejak lama membuat kita merasa spesial? Terimakasih untukmu, lelaki dengan angka 18.