Kamis, 23 Mei 2013

Ahkhir kemudian Awal

   Masa SMA akan segera berakhir. Hari ini aku dilanda kegelisahan menunggu hasil pelulusan, semua murid berkumpul di lapangan upacara. Terlintas seperti ‘slide show’ momen tiga tahun lalu di lapangan upacara ini, kami dikumpulkan disini untuk menghadiri acara penyambutan siswa baru. Sekarang, kami berdiri disini untuk membuka hasil ujian kemarin yang akan menentukan masa depan kami. 
   Kamu memandangiku begitu lekat saat apel pertama kita sebagai siswa baru di SMA ini. “Halo..” sapaku, kamu sangat terlihat kikuk dan hanya membalas dengan senyum bingung. Seminggu sudah kita lalui dengan sebutan peserta MOPDB (Masa Orientasi Peserta Didik Baru), seminggu itu pula aku mengenalmu yang sangat hangat padaku. Pada penghujung MOPDB itu, kamu menyatakan rasa sukamu terhadapku. Ah, dan aku mengerti apa maksud kehangatanmu selama ini. Tak disangka-sangka, setelah pembagian kelasbaru ternyata kita ditempatkan di kelas yang sama, sepuluh empat. Disanalah kita mulai mengenal satu sama lain semakin dekat.
    “Kita gak bias buat bareng-bareng, aku lebih nyaman kita jadi temen aja ya..” itu yang selalu aku ucapkan padamu ketika kamu mulai membicarakan hubungan kita untuk lebih lanjut. Kita semakin jauh, jauh yang dalam arti benar-benar menjauh. Entah aku yang menjauh karena tak ingin kamu terus berharap, atau kamu yang menjauh karena cemburumu melihatku bersama teman-teman lelakiku. Aku sering merasa kamu menjauh, mungkin menjauh agar tidak mengaharapkanku lagi. Tapi aku nyaman di dekatmu! 
   Kurang lebih satu tahun kita ditempatkan di kelas yang sama, tanpa aku sadari banyak sekali momen yang kita lalui bersama. Aku juga merasa sangat dekat denganmu, walaupun banyak sekali faktor yang membatasi kita. Selama iu juga, teman-teman kita sering sekali membicarakan ‘kesakit hatianmu’ melihatku berganti pacar sedangkan kamu selalu aki ‘skip’. Aku merasa iba padamu. Tapi entahlah, perasaanku padamu tetap tidak lebih dari sebatas teman. 
   Hingga pada saat itu kita harus dipisahkan oleh penjurusan, aku masuk di kelas IPA 1 yang berbeda lima kelas denganmu. Cukup jauh. Kitra semakin jarang bertemu, ditambah lagi dengan adanya teman perempuanmu yang membuat kita semakin canggung saja. Jangankan untuk bertegur sapa, memandangku saja kamu sangat hati-hati. Ya tentu saja, karena kamu selalu berjalan berdampingan dengan perempuanmu, begitu pula aku dengan lelakiku. “Hati-hati menjaga hati."
    Hidup kita sangat masing-masing, karena memang kita tidak pernah bersama. Tapi anehnya, kala itu tetap saja banyak dari teman kita selalu melaporkan apa-apa tentang kamu. Walaupun aku tidak ingin tau. Beberapa waktu kamu menghubungiku walaupun dengan sapaan dinginmu. Dan tanpa disadari olehku, ternyata kamu selalu ada di sela-sela waktuku. Hebat, aku salut padamu. Tapi entahlah, perasaanku padamu tetaptidak lebih dari sebatas teman. 
   Banyak sekali omongan orang-orang yang selalu memihak padamu, meminta agar aku memberi kesempatan padamu. Tapi saat itu, yang terpikir olehku adalah, “Buat apa kamu memintaku terus sedang kamu asyik dengan duniamu dan tidak ada usaha seperti dulu?”. “Huh, bodoh kamu. Gimana dia mau deketin kamu lagi sedangkan kamu masih mesra dengan pacar kamu? Kamu gak sadar apa aja yang udah dia lakuin!” itu yang temanmu katakana padaku. Sering kali setiap aku bertemu salah satu temanmu aku mendapat nasihat-nasihatseperti itu. Entah itu nasihat atau paksaan. Yang jelas, hal itu tetap tidak mengubah perasaanku padamu. Walaupun aku sempat sangat merasa tersentuh saat tau kamu pernah menjatuhkan air matamu ketika menceritakan tentangku pada temanmu. 
   Aku ingin sekali sikapmu menjadi sehangat dulu, bukan dingin seperti ini. Beberapa kali kita bertemu dan kamu membekukanku dengan pangabaianmu. Aku tidak mengerti kenapa setiap kali kamu mengacuhkanku, seperti ada rasa yang menusuk pada jantung ini. Dan pengabaianmu cukup membuatku terpaku. 
   Rasa ini semakin berkecamuk dengan perasaan-perasaan lain. Aku juga tidak tau dengan jelas apa perasaan ini. Apalagi setelah hamper tiga tahun sejak pertemuan kita, saat itu aku dan kamu sama-sama single dan kamu mulai menghubungiku lagi. Aku menjauh, perasaan ini semakin tidak menentu. Disatu sisi aku takut kamu mengaharapkanku lagi, aku tetap mempertahankan untuk menjadikanmu teman. Tapi disisi lain, aku merasa kehilanganmu ketika kamu menjauh. 
   Beberapa bulan setelah aku putus dengan lelakiku yang kata orang sudah membuatmu menunggu lama, kamu datang lagi. Ajakan makan malammu waktu itu aku terima dengan baik. Malam itu kamu mengorek dan memaparkan perasaan-perasaanmu terhadapku yang sejak dulu. “Aku punya tekad, dia lelaki terakhir yang melangkahiku. Jika ada lelaki lain, aku akan berhenti kala itu juga.” ucapmu dengan penuh yakin. Dan ucapanmu itu yang mungkin mulai menyadarkanku, “Apa salahnya jika aku mencoba memberikanmu kesempatan?”. Ibaratnya pintu hatiku sudah kau ketuk dan aku mencoba untuk membukakannya untukmu. 
   Setelah malam itu, banyak makan malam berikutnya yang kita lewati bersama. Siang haripun sering kita habiskan bersama. Hingga lama-kelamaan aku mulai menyilahkan kamu masuk kedaam ruang di hatiku. Dan ternyata ada banyak hal yang selama ini tidak aku lihat darimu, aku seperti buta akan dirimu. 
   “Aku tetap ingin menjadikanmu teman.” Sepertinya kalimat itu mulai emlemah. Aku sangat nyaman dengan keberadaanmu disampingku. Dan semakin sering kamu membuat jantungku berdebar tak karuan. Kata orang, aku jatuh cinta. Ah perasaan apa ini? Selama hamper tiga tahun ini kenapa aku baru merasakannya sekarang? Setelah masa SMA kita akan segera berakhir dan kita harus terpisah dengan pilihan sekolah tinggi kita. Aku ingin mengahabiskan sisa waktuku di SMA ini yang sudah aku ‘skip’ untuk kulalui bersamamu. Maafkan aku baru melihatmu setelah hampir tiga tahun aku mengenalmu. Terimakasih sudah menyelipkan aku di bagian hidupmu selama kurang dari tiga tahun ini. 
   Dan di hari pelulusan ini, mungkin di hari kita benar-benar akan dilepas dari sekolah yang telah mempertemukan kita. Aku memegang tanganmu erat, bersiap membuka amplop persegi panjang yang berisikan hasil Ujian Nasional dan Ujian Sekolah yang telah kita jalani. Tanganku mendingin, dibukalah amplop itu dan kubaca dengan seksama. Diantara deretan nilai-nilai dan tulisan yang tak kubaca, mataku terpaku pada tulisan dengan huruf capital, “LULUS”. Badanku melemas karena bahagia, kamu merangkulku dengan tawa riangmu. “Kita lulus! Kita lulus..” teriakmu sambil tetap merangkulku.   Doa dan rasa syukur atas kelulusan semua kami panjatkan di lapangan itu. Air matapun tak tertahankan, tanganku tak lepas dari genggamanmu yang kubalas erat. Seselesainya doa bersama untuk kesuksesan kami, aku memberanikan diri mengajakmu ke kelas kita dulu. Kelas dimana kita pernah menjadi sangat dekat. Kita mulai bernostalgia menceritakan satu persatu momen kita, manisnya. 
   Aku memandang wajahmu lekat-lekat, menatap matamu dalam. Aku berusaha menunjukan bahwa aku sedang sangat jujur terhadap perasaanku. “Biarpun waktu kita telah habis di sekolah ini, tapi sejarah kita akan tetap membekas disini.” kutunjuk dadamu. “Masa sekolah kita berakhir, tapi mari kita mulai hubungan kita.” tegasku. Kamu hanya membalas dengans enyuman dan memelukku erat.

Apa salahnya jiak kita terjatuh pada orang yang sudah sejak lama membuat kita merasa spesial? Terimakasih untukmu, lelaki dengan angka 18.

Jumat, 22 Maret 2013

Lelaki yang Sedari Dulu

Sudah hampir tiga tahun kebelakang ini, dia selalu membuat aku merasa menjadi wanita spesial. Itu sudah cukup, terimakasih!
Selama ini aku hanya menganggapnya kawan, maafkan aku.
Tapi kali ini mungkin akan berbeda, kita lihat saja nanti.
Untuknya, dengan angka 18.

Hanya 'Beberapa Hari' Dengannya

Ketika itu ruangan kantin sekolah disesaki murid-murid yang kelaparan karena tiga jam mereka gunakan untuk belajar. Aku datang bersama kedua temanku dengan tujuan yang sama pastinya dengan murid yang lain, makan. Di meja dekat pintu masuk ada perempuan heboh yang mencuri perhatian di ruangan itu, biasalah kelakuan kakak kelas selalu begitu. Awalnya aku tidak terlalu memperhatikannya, tapi perhatianku tercuri juga olehnya saat dia bertanya, "Nama kamu siapa sih?" dan aku berusaha tetap tenang dengan menjawab, "Nazam". Dia hanya tertawa bersama keempat temannya, seketika aku merasa dianggap  anak kecil yang sedang diajadikan bahan tertawaan seniornya. Entah apa yang mereka tertawakan, yang jelas mereka tertawa karena aku.

Beberapa hari setelah kejadian di kantin itu, aku semakin sering bertemu dengan kakak kelas itu. Aku belum tau jelas siapa namanya, tapi aku tau orang itu. Aku sempat meminta tanda tangannya saat ospek organisasi musik di sekolahku dan dia salah satu staf inti di oraganisasi itu. Dia selalu memanggil namaku dengan lantang, seolah-olah dia kenal padaku. Entah apa maksudnya, dan jelas karena aku tidak begitu mengenalnya aku hanya menjawab dengan senyuman (bingung). Sempat suatu hari dia bersama 'tiga serangkai'nya (aku sebut begitu karena aku sering melihat dia bertiga dengan kedua temannya yang itu-itu terus) memanggilku sambil tertawa genit, lagi-lagi aku tidak mengerti apa maksudnya. Maka seperti biasa aku jawab dengan senyum kebingungan dan dia berkata, "Ih jutek banget sih.." aku tidak tau apa yang dia maksudkan dengan 'jutek' karena menurutku wajar jika aku merespon seperti itu, karena aku tidak mengenal dia. Padahal itu aku sudah mengusahakan untuk tetap tersenyum padanya, ya mungkin karena bawaan wajahku sinis.

Beberapa hari setelah dia menyebutku 'jutek', aku kembali bertemu dengannya. Tapi kali ini bukan berpapasan, kali ini dia melatihku. Sebenarnya bukan melatih sih, ya lebih tepatnya dia mengawasi latihan pentas seniku. Organisasi musik kami dipercaya pihak sekolah untuk mengisi hiburan di acara ulang tahun sekolah setiap tahunnya, dan ini kali pertamaku mengikuti acara ini. Tentu saja, karena aku murid tahun ajaran baru yang masih belum tau banyak tentang sekolah baruku ini.

Hampir setiap hari selama dua minggu itu aku menghabiskan sore hariku di sekolah bersamanya, bukan berdua saja tapi bersama puluhan temanku satu organisasi. Dia murid kelas tiga yang seharusnya sudah fakum di organisasi kami, tapi karena keterlambatan sertijab dan karena murid anak kelas dua susah diandalkan jadi dia harus turun tangan lagi mengurusi pentas seni ini. Dia tidak sendiri, dia selalu datang berdua dengan salah satu senior di organisasi kami untuk melatih aku dan teman-temanku. Entah aku yang terlalu percaya diri atau ini memang kenyataannya, aku merasa paling dia perhatikan setiap latihan. Mungkin karena dia sudah tau namaku jadi dia sering menyebutkan namaku dan bertanya. Pernah suatu sore, disaat kami semua sedang istirahat latihan dia bertanya, "Nazam, kamu tau kan nama aku siapa?" dan aku bingung harus menjawab apa. Karena aku tidak tau namanya, aku menjawab dengan polos, "Hmm lupa kak hehe" dia hanya tertawa dan berlagak marah sambil berkata, "Nama aku Afilah, huh awas kalo kamu sampe lupa lagi ya, inget-inget!" dan diakhiri dengan tertawa.

Setelah beberapa hari aku mengenalnya, aku mulai merasa nyaman dengan sikapnya yang mau berbaur dengan juniornya. Bahkan terkadang aku dan teman-temanku merasa tidak ada batasan antara junior dan senior disaat itu. Pentas seni pun terselenggarakan dengan lancar dan sukses, kami merayakan kesuksesan kami di rumah salah satu senior kami. Pada saat akan pulang dari sana, Afilah meminta aku untuk mengantarnya pulang, ya akhirnya aku mengantarkannya sampai ke depan rumahnya. Aku pulang ke rumahku, entah kenapa saat itu dengan berani aku mengirim dia 'SMS' mengucapkan selamat malam. Dan malam itulah kedekatan kami mulai agak berbeda.

Beberapa hari setelah malam itu, aku yang semakin dekat dengan kakak kelasku memberanikan diri untuk mengajaknya nonton film di bioskop. Awalnya sih aku mengajak teman-temanku yang lain, tapi entah kenapa mereka semua tidak jadi ikut dan akhirnya aku hanya menonton film berdua dengan seniorku, Afilah (tentunya dengan pengunjung bioskop yang lainnya). Beberapa hari setelah nonton di bioskop itu, aku lebih terbuka kepadanya dan begitu pula sebaliknya. Dan kami sering menghabiskan waktu berdua, orang-orang di sekeliling kami pun mulai mempunyai presepsi mereka masing-masing mengenai kedekatan kami.

Aku menikmati kedekatan kami tanpa pernah membicarakan hal-hal yang berbau hubungan kami, sampai suatu saat dia mempertanyakannya. Lagi-lagi aku bingung dengan pertanyaannya, sebenarnya aku bingung dengan apa yang sedang aku lakukan dengan dia. Karena bisa saja dia sedang mempermainkanku, atau mungkin saja aku hanya dianganggap 'adik' baginya. Makanya aku tidak pernah menyimpan perasaan lebih juga padanya. Tapi kali itu aku benar-benar bingung dengan pertanyaannya, "Apa kita bisa lebih dekat dari ini?" jelas-jelas dari pertanyaannya itu dia menanyakan kepastian! Saat itu aku tidak menjawab pertanyaannya dan pergi meninggalkan dia. Memang sangat tidak sopan jika itu dipandang dari sisi seorang adik kelas yang mengabaikan seniornya.

Beberapa hari setelah pengabaianku, Afilah tidak pernah menghubungiku lagi. Entah kenapa di sekolah pun aku jadi sangat jarang bertemu dengannya, ya mungkin karena dia sibuk untuk mempersiapkan Ujian Sekolahnya. Tapi saat bertemu siang itu di sekolah, dia hanya melemparkan senyum tipis seperti orang yang baru kenal. Bahkan saat aku baru mengenalnya pun dia tidak senyum seperti itu, dia selalu memanggilku dan tertawa. Aneh, sepertinya dia mulai lupa terhadapku, lupa aku yang sempat menjadi 'adik'nya.

Ini mungkin memang salahku yang pada saat itu mengabaikan pertanyaannya dengan kurang sopan. Tapi aku begitu karena aku tidak ingin mulai membahas yang menurutku tidak akan ada habisnya kami perbincangkan. Dan buktinya, baru saja beberapa hari kami tidak berhubungan, dia sudah bisa dengan santainya mengahadapiku. Tidak ada wujud kekecewaan darinya jauh dariku. Ini yang aku persiapkan sejak dulu aku dekat dengannya, aku siap tidak memiliki hubungan lebih dengannya. Mungkin memang dia hanya menganggapku sebagai 'hiburan', sebagai 'anak kecil' yang bisa diajak asik-asikan. Dan bodohnya aku berani mendekatimu yang terpisah dua tahun diatasku.

"Terimakasih kak, sudah menjadi teman dekatku beberapa hari terakhir ini.."

Jumat, 08 Maret 2013

Teruntuk Pria yang Berulang Tahun Hari Kemarin

Halo, apa kabarmu? Beberapa hari terakhir ini kabarmu tak terdengar di kupingku. Kamu juga tidak menghubungiku setelah ajakan malam minggumu kutolak, dan percakapan kita di pesan singkat itu kuakhiri dengan kurang baik. Maaf jika perilakuku kurang berkenan di hatimu. Ah, mungkin satu kata maaf tidak cukup untuk menebus perilakuku yang tidak berkenan kepadamu. Maafkan aku..

Baiklah hari ini hari ulang tahunmu yang ke-19, angka favorite-ku. Ulang tahun yang ke-6 yang kamu lalui setelah kita berkenalan (20 Januari 2007, Bioskop Parahyangan), tetapi baru 2 kali kau merayakannya bersamaku. Diumur 19 tahun ini kamu bagikan 2 tahun terakhir bersamaku, kekasihmu dulu. Tawa duka kita bagi bersama, walaupun aku yang lebih sering membagi duka padamu.

Kamu masih ingat perayaan pertama ulang tahunmu bersamaku? Senin, 7 Maret 2011 ulang tahunmu yang ke-17. Hari itu kamu marah besar padaku, skenarioku berhasil! Aku berhasil mengelabuimu di hari ulang tahunmu dan membuatmu kecewa padaku. Hingga pada akhirnya aku membeberkan semuanya padamu. Dan kita menikmati hari itu bersama teman-temanmu. Oh ya, kuharap kamu masih menggunakan kado pemberianku hari itu, tas ransel motif loreng abu.

Lalu, apakah kamu masih ingat perayaan kedua ulang tahunmu bersamaku? Rabu, 7 Maret 2012 ulang tahunmu yang ke-18. Aku tidak lagi mengelabuimu atau mengerjaimu di hari itu. Hari itu aku datang ke lapang belakang sekolah kita saat kamu olahraga. Aku ditemani Shofani dan Aci datang membawakan kue dan lilin, disambut dengan nyanyian 'Happy Birth Day' dari teman-teman sekelasmu.Kamu terlihat kebingungan dan hanya tawa darimu yang kamu sampaikan menyiratkan kamu senang, ya semoga saja. Aku menghadiahimu sepasang septu cokelat yang kelihatannya kamu kurang suka. Tapi aku harap kamu tetap menyimpannya dan mengingat itu.

Dan tahun ini, ulang tahun pertama yang kamu lalui tanpa ada aku sebagai kekasihmu. Hari ini aku tidak mengelabuimu, tidak mengerjaimu, tidak pula memberikan kejutan kue dan lilinke tempatmu. Aku juga tidak menghadiahimu barang-baran yang besar harganya. Aku datang hanya dengan surat dan buku ini. Buku tulis yang bisa dengan bebas kamu isikan disalamnya.

Entah kenapa sejak awal aku melihat buku tulis ini yang tertata rapi diatas rak buku salah satu toko buku itu, langsung terpikirkan olehku untuk memberikannya padamu sebagai kado ulang tahunmu. Awalnya aku ingin mengahadiahimu kemeja biru yang sempat kutunjukan padamu saat kita berjalan-jalan di toserba itu, akan sangat pas jika kamu yang mengenakannya. Tapi saat ini aku tidak punya cukup uang untuk membelinya. Jadi maaf jika aku hanya bisa menghadiahimu buku tulis ini.

Semoga buku ini bisa bermanfaat bagimu, tidak hanya buku ini yang bermanfaat tapi hidupmu juga. Aku harap hidupmu juga akan jauh lebih bermanfaat di umurmu yang semakin dewasa ini. Semoga di tahun 2013 ini kamu bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan. Kamu harus bisa lebih dewasa mengahadapi semua masalah, kamu harus bisa lebih bersabar menghadapi hal-hal yang membuatmu jengkel. Nikmati hidup mudamu selagi masih bisa, kebahagiaan itu akan kamu dapatkan dari dirimu sendiri bukan orang lain. Semoga kamu mendapat kebahagiaan itu..

Sebelum berakhirnya surat ini, aku ingin meminta maafmu untuk semua perbuatanku yang menyakiti hatimu selama ini. Aku harap kita bisa menjalin hubungan baik meskipun kita tidak lagi menjadi sepasang kekasih. Ingat aku dan hubungiku jika itu membuatmu nyaman. Tapi lupakan aku jika mengingatku hanya memberikanmu kesakitan. Dan ingat, manusia diciptakan untuk merelakann bukan untuk melupakan. Ini bukan perpisahan, ini mungkin awal yang baru. Dengan atau tanpaku, aku yakin kamu bisa melewatinya.

Kesayanganmu dulu,   

Rizka Azizah Ramdhania